Media Opini - Jika boleh diringkas, Indonesia memang sedang banyak dirundung berbagai persoalan kebangsaan yang tidak ringan. Menurut budayawan Emha Ainun Najib, yang biasa akrab dipanggil Cak Nun, yang merundung Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal yang bersifat primer, tapi juga sekunder.

Mulai dari yang paling mendasar sampai pada cabang-cabangnya. Semua yang terjadi ada sebab dan akibatnya. “Nah, saat ini kita telah mengalami akibat yang sebabnya sedang kita cari,” begitu kata Cak Nun kepada pwmu.co—media resmi Muhammadiyah Jatim—di Bandara Internasional Juanda, (20/3).

Menurut Cak Nun , sebabnya adalah minimal dimulai saat membuat negara, dan lebih diperparah lagi saat era reformasi. “Sejak saat reformasi itu masyarakat tidak punya pijakan yang diyakini. Karena konsep yang sudah disiapkan tidak bisa dilaksanakan akibat penolakan beberapa pihak.”

Kyai Kanjeng ini lantas mencontohkan ketika ada orang yang didiagnosa sakit. Sudah tentu akan ada banyak macam tindakannya. Ada yang harus kemo, amputasi, cuci darah, atau sekedar diberi obat merah.

“Sama halnya saat reformasi. Seharusnya Pak Harto turun itu dibarengi dengan MPR bubar, DPR juga bubar. Tapi itu tidak dilakukan,” kata Cak Nun. “Yo opo ngono iku, lak podo wae (bagaimana kok seperti itu, kan sama saja, Red),” kata Cak Nun.

Padahal menurut Cak Nun, saat itu sudah ada penetapan kultural tentang 45 tokoh reformis dan disiapkan menjadi anggota MPRS (MPR Sementara). “Toh kalau ada kekurangan secara kualitatif , ya harus dimaklumi karena saat itu wong iku onoe (yang ada cuma itu, Red),” cerita Cak Nun.

Bukan hanya itu saja, kesepakatan yang dilanggar pun ternyata juga bertambah lagi. Sehari setelah Pak Haro turun, ternyata kesepakatan para tokoh reformasi kembali tidak dilakukan. “Nah, pada tanggal 21 Mei 1998 kita sidang dengan kesepakatan mengangkat presiden melalui pemilu secepat-cepatnya,” kisah Cak Nun. “Tapi tanggal 22 Mei, rangkaian agenda yang sudah disiapkan, ternyata batal,” ujarnya.

Karena itu, budayawan yang juga ngetop lewat tulisan “Kyai Slilit” ini menyatakan bahwa orang Indonesia itu kan kadang mudah dikelabuhi dan tidak jujur. Seperti saat memilih sosok yang menjadi presiden. “Sepertinya kok di Indonesia tidak ada yang pinter saja,” katanya.

“Kita ini sebenarnya sudah serba salah. Sama rakyat salah, sama ilmu salah, apalagi sama Tuhan. Secara teori, kondisi negara kita seperti ini pasti hancur. Tinggal ditolong Tuhan apa tidak,” kata Cak Nun berfilsafat. “Untung Nabi datang duluan. Kalau datang saat ini, ya bisa- bisa dielek elekno (dijelek-jelekkan), ditangkap polisi.”

Tak ketinggalan, Cak Nun pun menyoroti tentang kepemimpinan RI saat ini. Dalam pandangannya, keterpilihan Jokowi sebagai Presiden RI hanyalah akibat saja dari berbagai akut bangsa ini. “Lha iyo to pilih imam iku lak ono kriteriae. Lah ini gak ikut itu (memilih imam itu ada kriterianya. Lah, ini tidak ada, Red), kata Cak Nun. “Lihat saja, jadi walikota gak jangkep, jadi gubernur. Jadi gubernur gak jangkep, jadi Presiden. Ini undang-undang cap opo yo?” tegasnya gemas.

“Orang Indonesia itu apik-apik (baik-baik) semua, meskipun diapusi (dibohongi) setiap hari, yo gak ono seng muring muring (gak ada yang marah-marah),” kata Cak Nun. “Bayar pajak, ya dikorupsi,” kata Cak Nun mencontohkan tentang baiknya orang Indonesia yang tidak marah-marah, meski pajak yang dibayarkannya seringkali dijadikan bancakan korupsi.

Melihat Indonesia kekinian, kata Cak Nun, sesungguhnya bisa dikatakan bahwa bangsa ini benar-benar sudah murtad. “Lihat Almaidah 54, kita ini sebenarnya sudah murtad semua: murtad aqidah, akhlak, ilmu. Nah dalam kondisi ini Allah berjanji akan mendatangkan generasi baru yang saya cintai dan mereka mencintaiku, kata Allah,” tegas Cak Nun.

Secara terjemahan, surat Al-Maidah ayat 54 itu artinya “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”

“Makanya saya tidak ragu dan susah karena generasi seperti itu sudah datang dengan pemikiran mereka yang sangat jauh berbeda. mereka lebih terampil, lebih sholeh, lebih profesional dan bisa berpikir lebih menyeluruh,” jelas Cak Nun. [pwmu]